Ia mengetukkan cutout booties yang dikenakannya ke kaki
meja. Pasti bosan menunggu seseorang selama itu di kafe. Apalagi orang yang
ditunggu adalah laki-laki. Tapi, kenapa dia mau melakukan hal aneh seperti itu?
Kalau aku jadi dia, aku tidak akan mau menunggu selama itu di kafe hanya untuk
janjian dengan seseorang. Malas. Mending nonton drama korea di laptop.
"Aduh, maaf banget ya Li! Tadi aku masih jemput ibuku
dari stasiun.."
"Nggak apa-apa kok. Aku juga barusan aja datangnya.
Jadi, gimana? Kamu mau?"
"Oh, soal itu. Ayo kita bicarakan lagi. Sebentar aku pesan
minuman dulu."
Ia mengangguk.
Ya Tuhan. Dia bohong. Barusan katanya? Lihat! Cokelat
hangatnya telah dingin dan tak mengepulkan asap lagi. Dia tersenyum. Padahal semenit
lalu, dia masih berkutat dengan jam dan muka kesalnya. Aku penasaran dengan apa
yang mereka bicarakan.
"Bukan aku nggak mau, Rif. Tapi, aku merasa nggak
pantas. Aku nggak sebagus apa yang kamu pikirkan."
"Aku nggak permasalahkan itu, Li. Selama ini aku cuma
liat kamu dari luarnya gimana."
"Ganti topik, yuk. Aku agak nggak suka sama topik kayak
gini."
"Sama."
Apa yang mereka bicarakan? Bagaimana seorang Li yang kalem
dan diam itu mau bertemu dengan lawan jenis seperti ini? Dan bagaimana seorang
Arif yang memang berbudi arif itu mau mengiyakan permintaan untuk bertemu Li?
Hujan. Mendadak dan deras sekali. Kenapa harus hujan? Aku
jadi terpaksa masuk ke dalam kafe yang sama dengan mereka. Aku mengambil tempat
di pojok kafe agar tak terlihat oleh mereka sekaligus masih bisa mendengar percakapannya.
Kupesan secangkir kopi latte pada
pelayan.
"Bagaimana kalau Fina mendengar keputusanku?"
"Anak-anak itu butuh kita. Butuh guru, Li. Fina mungkin
bisa bantu kita. Jadi, nggak perlu takut kehilangan."
Fina? Hei. Dia menyebut namaku. Keputusan apa yang sedang
dia buat dengan Arif? Secangkir kopi latte milikku telah datang. Aku menyesap
sedikit rasanya. Pahit. Aku menambahkan creamer dan mencicipi lagi. Tetap pahit.
Kenapa, ya?
"Oke, oke. Aku siap, Li. Insya Allah. Materinya
apa?"
"Ini. Aku sudah fotokopikan. Lengkap sama kepengurusan
dan lain-lainnya. Sudah lengkap ditaruh di map."
"Serius banget kamu, ya. Sekretaris, sih. Hahaha."
"Sudah tugas. Ketua sama wakilnya lagi sibuk ujian kan.
Nggak apa aku yang nanggung."
"Ya sudah. Aku pulang, ya. Semoga nemu becak atau
angkut biar nggak kehujanan."
Li mengangguk dan menyusul Arif keluar kafe. Tersisa aku
yang masih keheranan mengapa rasa kopi latte ini masih tetap pahit.
***
Aku mengetukkan cutout booties yang kukenakan ke kaki meja. Ini
milik kakakku, Li. Membosankan sekali menunggu seseorang. Cokelat hangat yang sejak
tadi kupesan telah dingin. Aku janji untuk bertemu Arif, membicarakan tentang
anak-anak desa yang kekurangan pendidikan. Kami berencana membuat acara belajar
mengajar untuk anak desa selama dua minggu. Kenapa aku mau melakukan hal aneh
ini? Padahal lebih baik nonton drama korea di rumah. Entahlah.
Hujan mulai turun. Arif datang dan menyapa dengan senyum
seperti biasanya. Rasanya aku yang terlalu ingin tahu. Ingin tahu alasan
mengapa kopi latte waktu itu tak semanis biasanya. Ingin tahu mengapa sekarang
aku mau menunggu selama ini. Berlawanan dengan aku yang waktu itu.
Flashfiction ini diikutsertakan dalam #QuizDy
https://m.facebook.com/notes/dy-lunaly/quizdy-are-you-stalker-or-php-er/433948023439769/