Rabu, 18 Maret 2015

Huruf D di Depan Kata Ia

Ia mengetukkan cutout booties yang dikenakannya ke kaki meja. Pasti bosan menunggu seseorang selama itu di kafe. Apalagi orang yang ditunggu adalah laki-laki. Tapi, kenapa dia mau melakukan hal aneh seperti itu? Kalau aku jadi dia, aku tidak akan mau menunggu selama itu di kafe hanya untuk janjian dengan seseorang. Malas. Mending nonton drama korea di laptop.

"Aduh, maaf banget ya Li! Tadi aku masih jemput ibuku dari stasiun.."
"Nggak apa-apa kok. Aku juga barusan aja datangnya. Jadi, gimana? Kamu mau?"
"Oh, soal itu. Ayo kita bicarakan lagi. Sebentar aku pesan minuman dulu."
Ia mengangguk.

Ya Tuhan. Dia bohong. Barusan katanya? Lihat! Cokelat hangatnya telah dingin dan tak mengepulkan asap lagi. Dia tersenyum. Padahal semenit lalu, dia masih berkutat dengan jam dan muka kesalnya. Aku penasaran dengan apa yang mereka bicarakan.

"Bukan aku nggak mau, Rif. Tapi, aku merasa nggak pantas. Aku nggak sebagus apa yang kamu pikirkan."
"Aku nggak permasalahkan itu, Li. Selama ini aku cuma liat kamu dari luarnya gimana."
"Ganti topik, yuk. Aku agak nggak suka sama topik kayak gini."
"Sama."

Apa yang mereka bicarakan? Bagaimana seorang Li yang kalem dan diam itu mau bertemu dengan lawan jenis seperti ini? Dan bagaimana seorang Arif yang memang berbudi arif itu mau mengiyakan permintaan untuk bertemu Li?

Hujan. Mendadak dan deras sekali. Kenapa harus hujan? Aku jadi terpaksa masuk ke dalam kafe yang sama dengan mereka. Aku mengambil tempat di pojok kafe agar tak terlihat oleh mereka sekaligus masih bisa mendengar percakapannya. Kupesan secangkir kopi latte pada pelayan.

"Bagaimana kalau Fina mendengar keputusanku?"
"Anak-anak itu butuh kita. Butuh guru, Li. Fina mungkin bisa bantu kita. Jadi, nggak perlu takut kehilangan."

Fina? Hei. Dia menyebut namaku. Keputusan apa yang sedang dia buat dengan Arif? Secangkir kopi latte milikku telah datang. Aku menyesap sedikit rasanya. Pahit. Aku menambahkan creamer dan mencicipi lagi. Tetap pahit. Kenapa, ya?

"Oke, oke. Aku siap, Li. Insya Allah. Materinya apa?"
"Ini. Aku sudah fotokopikan. Lengkap sama kepengurusan dan lain-lainnya. Sudah lengkap ditaruh di map."
"Serius banget kamu, ya. Sekretaris, sih. Hahaha."
"Sudah tugas. Ketua sama wakilnya lagi sibuk ujian kan. Nggak apa aku yang nanggung."
"Ya sudah. Aku pulang, ya. Semoga nemu becak atau angkut biar nggak kehujanan."

Li mengangguk dan menyusul Arif keluar kafe. Tersisa aku yang masih keheranan mengapa rasa kopi latte ini masih tetap pahit.

***
Aku mengetukkan cutout booties yang kukenakan ke kaki meja. Ini milik kakakku, Li. Membosankan sekali menunggu seseorang. Cokelat hangat yang sejak tadi kupesan telah dingin. Aku janji untuk bertemu Arif, membicarakan tentang anak-anak desa yang kekurangan pendidikan. Kami berencana membuat acara belajar mengajar untuk anak desa selama dua minggu. Kenapa aku mau melakukan hal aneh ini? Padahal lebih baik nonton drama korea di rumah. Entahlah.


Hujan mulai turun. Arif datang dan menyapa dengan senyum seperti biasanya. Rasanya aku yang terlalu ingin tahu. Ingin tahu alasan mengapa kopi latte waktu itu tak semanis biasanya. Ingin tahu mengapa sekarang aku mau menunggu selama ini. Berlawanan dengan aku yang waktu itu.

Flashfiction ini diikutsertakan dalam #QuizDy 
https://m.facebook.com/notes/dy-lunaly/quizdy-are-you-stalker-or-php-er/433948023439769/

Rabu, 11 Maret 2015

WIshlist, aamiin :D

Aku tinggal di kota kecil, Pamekasan, Madura. Butuh 4 jam ke surabaya buat beli buku. Itupun masih ngeluarkan ongkos buat perjalanan bolak balik. Tiap tahun, mesti nyempetkan k gramedia pas lomba. Tapi kalau lomba, ya gk bawa uang lebih gitu. Sedih aja. Minat baca apalagi nulis d kotaku sedikit. Masih banyak orang yang malas membaca. Apalagi dengan adanya android-android gitu. Negatifnya ya, android itu mengurangi waktu untuk membaca. Aku pribadi, suka membaca di tengah-tengah orang yang malas membaca. Suka beli buku di tengah-tengah orang yang berpikir buku itu kurang penting. Suka dihadiahkan buku di tengah-tengah orang yang berpikir buku itu nggak ada gunanya. Cuma koleksi. Sedih sekali tiap ingat realita ini. Tapi, aku tetap bertahan. Suka membaca. Masih ada banyak orang yang lebih tidak bisa membaca daripada aku, kan? Misalnya anak-anak daerah pedalaman Papua yang untuk ke kotanya saja harus menempuh puluhan kilometer hanya dengan kaki. Semestinya aku bersyukur, ya...

WISHLIST :

1. PBC Ring of Ballerina
2. PBC Crunchy: The journal of Dream
3. Assalamualaikum, Beijing! -Asma Nadia
4. Negeri 5 Menara (cover lama) -A. Fuadi
5. Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah -Tere Liye
6. Menjeda, Namaku Loui(sa) -Adya Pramudita
7. Intertwine - FLOCK
8. Angels of Morning Star Club
9. Eleanor -Arumi E
10. Bonus Track

Pengen baca buku terbitannya haru sama bukunya bernard batubara. bagus, ya katanya?

Aksaraaksara

Bagiku, tulisan menjelma teman. Dan cerita berwujud aksara sehari-hari adalah sahabat. Otomatis, buku merupakan kekasih hati paling setia. Mereka tidak berlisan. Tidak memiliki satupun organ-- karena mereka benda mati. Tapi, di kala sepi. Terkadang, mereka lebih menasihati daripada yang berbicara. Lebih memeluk daripada yang memiliki tangan. Dan lebih logis dari yang memiliki logika. Tapi tidak berarti aku bermain sendiri di dalamnya. Ternyata, dunia antar satu huruf dengan huruf lain berkaitan. Dan, memiliki teman karena teman itu lebih menyenangkan, kau tahu?

Setidaknya, izinkan aku berkhayal di tengah realita kehidupan ketika bosan berlayar di pulau kenyataan.

Minggu, 08 Maret 2015

Salah?

Bagiku, tidak pernah ada kesalahan karena mengenalmu. Jikapun ada, maka itu salahku karena memilih untuk mengenalmu. Semua sesederhana itu. Namun, tidak pernah ada kesalahan pula bila aku lupa. Itu bukan salahku saat aku memilih lupa mengenalmu. Juga bukan salahmu saat kau lupa dengan aku. Atau sok lupa? Setiap orang egois, kau tahu? Termasuk aku, dan kamu juga. 

Sebagai penutup, tidak salah kan kalau aku dan kamu tak dapat diganti dengan kata kita?

Pamekasan, 8 Maret 2015
21.21 WIB

Sabtu, 07 Maret 2015

Who is Angel?

Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘Angels of Morning Star Club’


“Malaikat? Apa itu? Tidak ada kata itu dalam kamusku.” Ucap Lun tajam saat menjawab pertanyaanku.

Aku menghela nafas. Mungkin, Lun pantas mengatakan itu. Kisah hidupnya sangat miris.  Aku, sahabat terdekatnya, hanya bisa membantu agar Lun tidak sampai sakit jiwa. Saat ini Lun tinggal denganku. Kami menyewa satu kamar kos yang cukup luas untuk dua orang. Sampai saat ini, aku belum pernah mendengar Lun menangis. Setiap hari wajahnya berkisar antara bahagia-datar-sedih. Jika orang melihat wajahnya, akan terbayang sosok nona yang perfeksionis. Entahlah. Lima tahun aku bersama Lun, dan aku belum mengerti kepribadiannya.

Malam hari. Lun sering pulang malam saat aku sudah terlelap. Aku tahu itu karena aku hafal suara langkah kaki Lun yang sangat khas. Aku mengabaikannya dan ingin terbuai mimpi lagi. Tapi sesaat kemudian, aku mendengar suara tangisan. Lun menangis? Ada apa? Aku ingin sekali bangun  tidur dan mengusap airmata di pipinya. Tapi, aku lebih takut pada kata-kata Lun yang tak ingin berbagi kesedihannya padaku. Dengan keegoisan, aku kembali tidur.

Paginya, aku pura-pura tidak tahu soal tangisan Lun. Aku melihat matanya tidak sembab. Tidak ada bekas tangisan di sana. Tapi, aku melihat air mata yang meresap di bantal Lun. Air mata yang belum kering. Sama seperti kesedihannya.

Lun lahir di penghujung bulan Juni. Saat hujan deras, ibunya pontang-panting pergi ke rumah sakit sendiri. Tanpa ayahnya. Ayahnya meninggal karena kecelakaan tepat seminggu sebelum Lun lahir. Setelah melahirkan Lun, ibunya memutuskan menikah lagi karena tidak ada penghasilan cukup. Ia menikah dengan pria yang baik. Pria itu mencukupi kebutuhannya dan menyayangi Lun sepenuh hati. Lun memanggilnya ayah. Namun saat malam, pria itu sering menyakiti ibunya. Sampai Lun menginjak sekolah dasar. Lun tanpa sengaja melihat ayahnya menyakiti ibunya. Dan dia mulai menyimpan dendam pada ayahnya.

“Ayah!” Lun memeluk ayahnya yang menjemput di gerbang sekolah. Dan ayahnya membalas dengan hangat.

Lun memutuskan untuk mengubur dendam itu di hatinya. Ia pikir, mungkin ayahnya itu mau latihan drama. Sama seperti di sekolahnya. Hari-hari Lun berlangsung bahagia. Dan Lun tidur dengan hati yang tenang. Ia tidak mengetahui segala sesuatunya. Ayah Lun dibunuh oleh kakek Lun sendiri. Ibu Lun histeris. Malam itu juga, pemakaman disegerakan. Supaya Lun tidak tahu kalau ayahnya sudah meninggal.

“Bu, mana ayah?” Tanya Lun.

Dengan mata berkaca-kaca ibu Lun menjawab, “Ayah sedang jalan-jalan ke negeri yang jauh sekali. Lun mau ikut ayah?”

“Nggak. Lun mau bareng ibu aja. Tapi, Lun mau telepon ayah biar ayah bisa bawa oleh-oleh kalau pulang.”

Ibunya mengangguk. Tersenyum hambar. Sejak itu pula, ibu Lun bekerja banting tulang menghidupi keluarganya. Siang malam ia bekerja keras.

“Bu, istirahat dulu. Lun bisa bantu kok besok,”

“ Lun, belajar yang rajin ya. Ibu ini nggak punya apa-apa. Cuma punya kamu, nak.”

“Iya, bu. Iya.”
***
“Sif, malaikat itu seperti apa?” Tanya Lun.

“Nggak tahu, Lun. Aku belum pernah lihat malaikat soalnya, hahaha.” Candaku.

“Kata agama, malaikat itu makhluk gaib Tuhan yang punya sayap kan? Makhluk ciptaanNya yang 
selalu menepati perintah Tuhan. Benar tidak?”

“Iya, benar.”

“Aku kenal satu malaikat, Sif. Dia tak bersayap. Kadang, ia tidak menepati perintah Tuhan. Tapi, buatku dia malaikat. Segalanya. Aku terlalu sayang padanya.”

“Siapa Lun? Tumben kamu bicara dalem gini.”

“Ibu. Ibuku.”

Butir pertama airmatanya telah jatuh. Sempurna tertarik oleh gravitasi setelah mengalir di pipi Lun.

“Aku nggak bisa lupa, sif. Waktu kecil, ibuku disakiti sama ayah. Dan ibuku diam tidak mengeluh. 
Apa ibu cinta dengan ayah? Aku tidak tahu. Mungkin ia mempertahankan hubungan demi aku yang merengek-rengek minta mainan pada ayah tiap pulang sekolah.”

“Lun? Kamu, nggak apa?”

“Setelah itu, ayah dibunuh kakek. Ibu merahasiakan pemakamannya. Aku tahu itu, tapi ibu bilang ayah jalan-jalan ke luar negeri. Dan kakek bersikap seolah ia tak bersalah. Ada apa dengan keluargaku? Aku tidak mengerti.”

“Aku sekolah di sekolah bagus, Sifa. Ibu yang mendaftarkanku. Aku baru tahu kalau ibuku ternyata berjualan di pasar sekaligus menjadi tukang sampah. Semua untuk membiayaiku. Ibu menyembunyikan seragam tukang sampahnya dan mencucinya saat malam agar aku tak tahu.”
Aku diam dan mendengarkan ceritanya.

“ Tapi aku tahu, Sifa. Dan aku membalas semua dengan prestasi. Apakah ibuku bahagia? Aku tidak tahu. Tapi ia tersenyum. Sifa, ibuku tadi malam meninggal. Kerabatku di desa meneleponku untuk segera pulang.”

Ia menangis sesenggukan.

“Sudah, Lun. Datang aja ke pemakaman ibumu. Kamu sangat beruntung punya ibu. Punya malaikat di hidupmu.” Jawabku sambil tersenyum, lalu aku berbalik badan.

Seandainya kamu tahu, Lun. Aku yatim piatu dan menjadi pengamen jalanan sejak kecil. Setiap orang pasti punya ceritanya sendiri.


Siapa malaikat di hidupku? Aku lebih tidak paham hal itu daripada kamu, Lun.

Siapa Dia?

Sekali lagi dia terbatuk-batuk parah. Wajahnya pucat seakan kehabisan darah. Aku tak tau siapa dia. Aku menyimpan iba sambil mengobatinya. Memberikan obat batuk serta minyak kayu putih untuk melegakan tenggorokannya sesaat.

Aku sedang menjalankan piket pmr hari ini. Dan tiba-tiba ia masuk ke uks sambil memegang dadanya. Ia tidak mengeluh atau mengatakan sakitnya padaku, tapi hanya tersenyum.

"Terima kasih, petugas pmr." katanya pelan. Suaranya parau namun melekat jelas dalam pendengaranku. Aku hanya mengangguk. Dan dia kembali ke kelas.

Seminggu berlalu. Sekolah sedang sibuk-sibuknya karena sebentar lagi ada HUT Sekolah. Begitu pula PMR. Di balik kemeriahan HUT Sekolah, pasti akan ada yang jatuh sakit. Entah karena kelelahan, kepanasan atau apapun. Di saat itulah PMR siap menangani. Dan aku adalah koordinator PMR yang akan menangani siswa yang mengalami luka.
***
Akhirnya, HUT Sekolah pun dimulai. Semua terlihat ceria dan senang. Ada banyak penampilan di panggung. Setiap kelas diwajibkan member penampilan berdurasi lima menit. Kelasku, X-A menampilkan lawakan berupa menirukan gaya boyband. Aku menunggu penampilan lucu teman-temanku sambil berdiri di depan UKS. Letak UKS di dekat panggung. Kami PMR berjaga-jaga jika saja ada yang sakit atau pingsan.

“Sekarang, kita akan melihat penampilan dari kelas………. Sepuluh A!” ucap pembawa acara.

“Yeeeee!!!”

Kudengar sorak ceria itu dari teman-temanku yang mendukung dari samping panggung. Baru saja melihat mereka berdiri, tawaku sudah berderai. Boyband lawak itu terdiri atas lima orang. Mereka menirukan gaya boyband dan menari dengan cara aneh sehingga membuat semua orang tertawa. Bahkan guru-guru pun sampai keluar dari ruang guru saking hebohnya mendengar teriakan dan tawa penonton.

Ternyata ada kesalahan. Di menit keempat, salah satu temanku tak sengaja tersandung kabel pengeras suara sehingga ia terjatuh dan peralatan pengeras suara lain ikut berjatuhan. Begitu pula panggungnya mulai doyong. Semua orang berlari panik menjauhi panggung. Aku dengan segera berlari untuk menyelamatkan temanku yang jatuh. Setelah menolongnya dari lilitan kabel, aku menyuruhnya segera pergi dari panggung.

Hingga, ada suara benda jatuh. Dan segalanya samar.

“Petugas PMR, bangun. Kok petugas PMR malah terluka? Seharusnya petugas PMR itu nggak luka.” Itu suara yang kudengar.

Suara itu lagi. Suara yang telah berhari-hari tanpa sengaja aku rindukan. Aku membuka mata perlahan. Di pandanganku, ada wajahnya. Ia tersenyum seperti saat pertama kami bertemu.

“Petugas PMR, ini hansaplast. Di tangan dan dahimu ada luka. Pasang sendiri, ya. Aku takut dosa.” Katanya.

“Jangan panggil petugas PMR. Namaku Alia.”

Ia hanya mengangguk dan tersenyum. Setelah itu mengucap salam dan pergi dari hadapanku. Siapa dia? Aku lupa bertanya namanya.

diikutsertakan dalam #QuizDy
https://www.facebook.com/notes/dy-lunaly/quizdy-are-you-stalker-or-php-er/433948023439769?notif_t=like