Sabtu, 09 Mei 2015

Karam

Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘The Wind Leading to Love’

Aku menjejakkan kaki di atas pasir putih sambil berjalan-jalan di sekitar pantai. Sudah berapa tahun sejak terakhir kali aku ke sini? Bodohnya aku. Aku meninggalkan desa kecilku yang dilapisi debur ombak dan panorama bak lima puluh persen surga. Aku menghela nafas. Sudahlah. Itu hal yang tak perlu dikomentari lagi. Keputusanku untuk pergi sudah terlambat disesali. Pun, Ayah dan Rudi tak akan kembali. Ingatanku mulai mengabur ke suatu kata bernama 'masa lalu'.
***
"Lala!" panggil seseorang di jendela kamarku.
Malam-malam begini, ada orang manggil di jendela. Aku takut untuk membuka jendela, tapi aku juga ingin tahu siapa yang memanggilku.
"Siapa?"
"Ini saya, Rudi!"
"Ya ampun, ternyata Rudi!"
Aku langsung membuka jendela kamar dan mendapati Rudi dalam keadaan basah dari ujung kepala sampai ujung kakinya.
"Kamu-- kenapa kok basah begitu?"
"Saya habis nangkap ini!" Ia tertawa lebar sambil menunjukkan tangkapannya, lobster merah besar.
"Wah!"
"Kamu tau, La? Ini gara-gara kamu. Tempo hari kamu bilang pengen makan lobster, kan?"
Aku terdiam. Rudi benar. Aku jadi merasa bersalah terhadapnya. Tapi, kenapa harus repot-repot mencarikan lobster? Aku tersenyum kecil dalam hati. Aku dan Rudi adalah teman masa kecil. Dan orang tua kami sepakat menjodohkan kami sehingga, ya, aku dekat sejak kecil dengan Rudi. Rumah Rudi berjarak kira-kira 6 rumah dari rumahku. Rudi anak pantai yang lincah sekali dan menghargai teman. Pernah suatu hari ia mengajakku merasakan rasanya tidur berselimut pasir di pantai. Alih-alih dingin, pasir itu malah membalut tubuhku dengan hangat. Terima kasih, Rudi.
"Eh, La. Jangan melamun!"
"Oke, maaf."
"La, sebentar lagi ayahmu melaut. Dan saya akan ikut. Saya bakal ngumpulin banyak uang untuk pernikahan kita!"
"Terima kasih, Rudi. Hati-hati, ya..." Aku menguap karena ngantuk. Ini sudah malam sekali karena di ujung jendelaku sinar bulan mulai naik ke atas langit.
"Hahaha. Kamu ngantuk, ya? Ya udah tidur sana. Tutup jendelanya. Besok pagi kamu sudah makan lobsternya kok"
Aku hanya mengangguk. Aku langsung menutup jendela dan bermimpi indah. Pernikahanku dengan Rudi hanya tinggal menghitung hari. Aku paham alasannya ingin mencari penghasilan lebih banyak lagi.
                Sinar matahari menembus di sela-sela lubang kamarku. Aku bangun pagi dan beranjak membantu ibuku di dapur seperti biasanya. Tapi aku berbalik ketika aku mendengar suatu suara langkah kaki.
Drap! Drap! Drap!
“Ada apa? Ibu!”
“La.. la…”Ibu keluar dari kamar sambil menangis.
“Kenapa, Bu?”
Perasaanku tidak enak. Ada sesuatu yang terjadi pagi ini.
“Kapal bapakmu karam di laut, Nak. Bapakmu, Rudi dan beberapa orang lain tenggelam. Cuma satu yang berhasil selamat. Dia lagi ditolong di puskesmas.” Ucap Ibu sesenggukan.
Tenggorokanku tercekat. Baru semalam aku bermimpi tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Muka-muka bahagia orang tuaku. Tuhan, kenapa kau renggut nyawa Ayah dan Rudi di saat yang bersamaan? Aku mencoba untuk menahan tangis dan pergi ke luar rumah. Aku menatap sebentar pemandangan di sekitarku. Langit luas. Laut yang birunya bercampur dengan langit. Aku bersyukur hidup dengan pemandangan seindah ini. Tapi, siapa sangka pemandangan indah ini ternyata menyimpan monster ombak yang merenggut nyawa kedua orang yang kusayangi sekaligus. Aku terduduk di pasir pantai. Melamun. Pikiranku kosong sama sekali. Aku kembali ke rumah. Memikirkan yang seharusnya kulakukan. Tetanggaku mulai berdatangan memberi simpati pada ibuku.
“Bu, Lala izin, ya.”
“Ke mana, Nak? Jangan ke mana-mana. Ibu tidak mau sendirian.”
“Ingin menenangkan diri, Bu. Maafkan Lala.”
Aku pamit dan mencium tangan ibu sambil menangis. Aku tergesa memasukkan beberapa baju dan barang yang kuperlukan ke dalam tas. Aku akan merantau. Sejauh mungkin sampai aku bisa lupa tentang Ayah dan Rudi. Aku keluar lewat pintu belakang dekat dapur. Di meja dapur, aku menemukan sesuatu. Lobster. Yang dibawa Rudi tadi malam. Aku mengambil plastik dan memasukkan lobster itu ke dalamnya sebelum sadar ada kertas di balik badan lobster itu.
“Tidur nyenyak. Mimpi indah. Saya akan kembali dan kita akan menikah di tempat yang tepat.”
Tulisan Rudi. Dan aku langsung keluar. Ke manapun yang bisa menghilangkan luka di hati ini.
***

Tapi ternyata luka itu belum hilang. Lima tahun berlalu dan aku (masih) tetap di keadaan yang sama.

Sabtu, 02 Mei 2015

Untuk Apa Menandai Waktu?

https://pwgara.wordpress.com/2015/04/23/give-away-untuk-apa-kau-menandai-waktu/

https://pwgara.wordpress.com/2015/04/23/give-away-untuk-apa-kau-menandai-waktu/comment-page-2/#comment-2465

IMG_20150422_211733



Menurutku, kita sebenarnya tidak menandai waktu. Bagiku, kata 'menandai waktu' itu sendiri sebenarnya hanya pemaksaan dari kita karena kita ingin membekukan waktu sejenak untuk mengenang sesuatu. Seperti menulis diari misalnya. Dalam setiap lembar diari, kita menandai waktu-waktu khusus saat peristiwa yang ditulis itu terjadi kan? Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, Minggu. Ah, waktu terus berjalan tanpa kita tahu. Semakin cepat selambat yang kita ketahui. Dan tahu-tahu saja, hari esok sudah tiba. Lalu kita dengan jujurnya berkata ingin kembali ke hari kemarin. Kembali ke peristiwa kemarin. Bukankah kita dengan egoisnya ingin waktu melambat saat peristiwa menyenangkan terjadi? Dan ingin waktu berlari saat ada peristiwa sedih?
Jadi, apa gunanya menandai waktu? Selain mengenang, menandai waktu juga bisa membuat kita disiplin. Semua orang, menurutku, pasti pernah mengalami kata terlambat. Kalau orang yang mengalami kata terlambat itu sadar, maka ia akan menandai waktu. Ia akan membuat jadwal waktunya sendiri. Oke, ini pribadi sih wkwk. Orang yang disiplin rata-rata punya jadwal waktu, sepanjang survey yang aku lakukan. Nah, jadwal waktu itu berisi jam saat-saat di mana mereka akan melakukan aktivitas sehari-harinya. Tapi, kok ya, di zaman sekarang, waktu itu dipergunakan nggak semestinya.
Beberapa orang kekurangan waktu karena mereka menyibukkan diri. Tapi, beberapa orang membutuhkan waktu lebih banyak untuk menjalani hidup. Dan, kadang, para orang-orang yang merasa kekurangan waktu ini tidak memikirkan bagaimana perasaan orang-orang yang membutuhkan waktu. Maka, menandai waktu bisa menjadi sebuah rasa syukur. Kita yang—semestinya bersyukur karena tidak kekurangan waktu dan tidak pula butuh waktu.

Selain itu, apa lagi? Menandai waktu bisa membuat kita menahan keluhan. Ini berhubungan sama rasa syukur di atas. Dengan bersyukur, kita bisa memahami keadaan kita yang lebih baik dari orang lain. Nah, dengan itu, kita bisa belajar bersyukur kalau masih ada yang tidak lebih baik dari kita. Lucu, ya. Menandai waktu banyak fungsinya. Padahal, waktu itu sendiri hanya nama. Waktu itu kan kasat mata. Jamlah yang mewujudkan seperti apa waktu itu sendiri^^


akun twitter : @anotheruye