Aku menjejakkan kaki di atas pasir
putih sambil berjalan-jalan di sekitar pantai. Sudah berapa tahun sejak
terakhir kali aku ke sini? Bodohnya aku. Aku meninggalkan desa kecilku yang
dilapisi debur ombak dan panorama bak lima puluh persen surga. Aku menghela
nafas. Sudahlah. Itu hal yang tak perlu dikomentari lagi. Keputusanku untuk
pergi sudah terlambat disesali. Pun, Ayah dan Rudi tak akan kembali. Ingatanku
mulai mengabur ke suatu kata bernama 'masa lalu'.
***
"Lala!" panggil seseorang di jendela kamarku.
Malam-malam begini, ada orang manggil di jendela. Aku takut
untuk membuka jendela, tapi aku juga ingin tahu siapa yang memanggilku.
"Siapa?"
"Ini saya, Rudi!"
"Ya ampun, ternyata Rudi!"
Aku langsung membuka jendela kamar
dan mendapati Rudi dalam keadaan basah dari ujung kepala sampai ujung kakinya.
"Kamu-- kenapa kok basah begitu?"
"Saya habis nangkap ini!" Ia tertawa lebar sambil
menunjukkan tangkapannya, lobster merah besar.
"Wah!"
"Kamu tau, La? Ini gara-gara kamu. Tempo hari kamu
bilang pengen makan lobster, kan?"
Aku terdiam. Rudi benar. Aku jadi
merasa bersalah terhadapnya. Tapi, kenapa harus repot-repot mencarikan lobster?
Aku tersenyum kecil dalam hati. Aku dan Rudi adalah teman masa kecil. Dan orang
tua kami sepakat menjodohkan kami sehingga, ya, aku dekat sejak kecil dengan
Rudi. Rumah Rudi berjarak kira-kira 6 rumah dari rumahku. Rudi anak pantai yang
lincah sekali dan menghargai teman. Pernah suatu hari ia mengajakku merasakan
rasanya tidur berselimut pasir di pantai. Alih-alih dingin, pasir itu malah
membalut tubuhku dengan hangat. Terima kasih, Rudi.
"Eh, La. Jangan melamun!"
"Oke, maaf."
"La, sebentar lagi ayahmu melaut. Dan saya akan ikut. Saya
bakal ngumpulin banyak uang untuk pernikahan kita!"
"Terima kasih, Rudi. Hati-hati, ya..." Aku menguap
karena ngantuk. Ini sudah malam sekali karena di ujung jendelaku sinar bulan
mulai naik ke atas langit.
"Hahaha. Kamu ngantuk, ya? Ya udah tidur sana. Tutup
jendelanya. Besok pagi kamu sudah makan lobsternya kok"
Aku hanya mengangguk. Aku langsung menutup jendela dan
bermimpi indah. Pernikahanku dengan Rudi hanya tinggal menghitung hari. Aku
paham alasannya ingin mencari penghasilan lebih banyak lagi.
Sinar
matahari menembus di sela-sela lubang kamarku. Aku bangun pagi dan beranjak
membantu ibuku di dapur seperti biasanya. Tapi aku berbalik ketika aku
mendengar suatu suara langkah kaki.
Drap! Drap! Drap!
“Ada apa? Ibu!”
“La.. la…”Ibu keluar dari kamar sambil menangis.
“Kenapa, Bu?”
Perasaanku tidak enak. Ada sesuatu yang terjadi pagi ini.
“Kapal bapakmu karam di laut, Nak. Bapakmu, Rudi dan
beberapa orang lain tenggelam. Cuma satu yang berhasil selamat. Dia lagi
ditolong di puskesmas.” Ucap Ibu sesenggukan.
Tenggorokanku tercekat. Baru
semalam aku bermimpi tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari.
Muka-muka bahagia orang tuaku. Tuhan, kenapa kau renggut nyawa Ayah dan Rudi di
saat yang bersamaan? Aku mencoba untuk menahan tangis dan pergi ke luar rumah.
Aku menatap sebentar pemandangan di sekitarku. Langit luas. Laut yang birunya
bercampur dengan langit. Aku bersyukur hidup dengan pemandangan seindah ini.
Tapi, siapa sangka pemandangan indah ini ternyata menyimpan monster ombak yang
merenggut nyawa kedua orang yang kusayangi sekaligus. Aku terduduk di pasir
pantai. Melamun. Pikiranku kosong sama sekali. Aku kembali ke rumah. Memikirkan
yang seharusnya kulakukan. Tetanggaku mulai berdatangan memberi simpati pada
ibuku.
“Bu, Lala izin, ya.”
“Ke mana, Nak? Jangan ke mana-mana. Ibu tidak mau sendirian.”
“Ingin menenangkan diri, Bu. Maafkan Lala.”
Aku pamit dan mencium tangan ibu sambil menangis. Aku tergesa
memasukkan beberapa baju dan barang yang kuperlukan ke dalam tas. Aku akan
merantau. Sejauh mungkin sampai aku bisa lupa tentang Ayah dan Rudi. Aku keluar
lewat pintu belakang dekat dapur. Di meja dapur, aku menemukan sesuatu.
Lobster. Yang dibawa Rudi tadi malam. Aku mengambil plastik dan memasukkan
lobster itu ke dalamnya sebelum sadar ada kertas di balik badan lobster itu.
“Tidur nyenyak. Mimpi indah. Saya akan kembali dan kita akan
menikah di tempat yang tepat.”
Tulisan Rudi. Dan aku langsung keluar. Ke manapun yang bisa
menghilangkan luka di hati ini.
***
Tapi ternyata luka itu belum
hilang. Lima tahun berlalu dan aku (masih) tetap di keadaan yang sama.