Kamis, 16 Juli 2015

[Review] Haru no Sora - Laili Muttamimah


Judul : Haru no Sora
Pengarang : Laili Muttamimah
Penerbit : Ice Cube Publisher

Sinopsis

“Aku berharap musim dingin dapat membekukan rasa sakitku,” ujarku lirih.

“Begitu?” tanya laki-laki itu, asap putih yang hangat keluar dari mulutnya. “Kau pikir, ketika rasa sakit itu membeku, kau tidak akan merasakan sakit lagi?”

“Mungkin begitu.”

“Kurasa kau tidak akan bisa membekukan rasa sakitmu.”

“Kenapa?”

“Karena rasa sakitmu akan mencair ketika musim semi tiba.”

Tiap tahun, Miyazaki Sora selalu menantikan kedatangan musim dingin. Titik-titik putih yang jatuh dari langit berarti tiba waktunya untuk bermain di halaman bersama sang ayah, sementara si ibu akan menyiapkan hidangan lezat di meja makan. Di balik gunungan salju yang menumpuk di halaman, Sora menemukan kehangatan kasih sayang kedua orangtuanya. Namun itu dulu. Sebelum suatu rahasia yang terbongkar di musim dingin tiga tahun lalu merenggut nyawa ibunya. Sebelum judi dan alkohol menjerat perhatian ayahnya. Sebelum Sora memilih melanjutkan hidupnya dengan menapaki jalan yang salah.

***
Haru no Sora adalah salah satu naskah pemenang lomba menulis novel yang diadakan oleh Ice Cube dengan tema YARN atau Young-Adult Realistic Novel. Buku ini bercerita tentang kisah seorang siswi SMA bernama Miyazaki Sora. Miyazaki Sora terpaksa bekerja sebagai perempuan malam demi menyambung hidup dan menutup hutang ayahnya. Sora memiliki dua orang sahabat bernama Risa dan Sae. Sehari-hari di sekolahnya, Sora terkenal sebagai siswi cantik yang berkuasa. Sora sering mem-bully salah satu teman sekelasnya, Akiyama Airi-- seorang siswi yang gemuk.

Kedua sahabatnya tidak tahu kalau pekerjaan Sora adalah pekerjaan "tidak baik". Mereka hanya memuji pekerjaannya yang mendapat banyak uang. Ayahnya sering menghabiskan uang untuk mabuk-mabukan dan berjudi. Sora membenci ayahnya, tapi sebenarnya, dia hanya kesepian dan sedih menanggung beban hidup yang berat.

Akhirnya ia bertemu dengan Yoshida Haru yang membuatnya merasa menjadi siswi SMA biasa yang bisa jatuh cinta. Namun ternyata, pertemuan dengan Haru bukanlah kebetulan. Itu takdir yang tidak diduga. Ada banyak kebenaran di balik pertemuan Sora dengan Haru.

***
Haru no Sora adalah novel YARN pertama yang saya baca. Sekaligus karya Laili Muttamimah yang pertama saya baca. Saya tertarik membeli novel ini karena rating-nya yang lebih tinggi dari juara pertama YARN, Hikkikomori-chan karya Ghyna Amanda Putri.

Ceritanya asyik dan menarik pembaca untuk membaca kelanjutannya. Alurnya mengalir dan tidak membosankan. Dan banyak kata-kata mutiara di dalam novel ini. Di setiap awal bab, ada kata mutiara dari Haruki Murakami. Lalu, untuk latar cerita yang mengambil latar Jepang. Saya suka dengan cara penulis menggambarkan Jepang sebagai latar. Biasanya beberapa penulis lokal mengalami kesulitan untuk menggambarkan latar luar negeri dalam cerita, sehingga terkesan memaksakan. Tapi, Haru no Sora terasa Jepang-nya.

Karakter cerita kuat tapi tetap tidak mengalahkan tokoh utama. Saya suka dengan semua karakternya, termasuk Miyazaki Sora. Tokoh-tokohnya punya kepribadian yang membuat cerita berjalan dengan baik. Dan mata saya juga belum menemukan typo di novel ini. Tapi saya kurang suka dengan covernya yang kurang menarik. Karena menurut saya, walau orang bilang "Lihat buku jangan dari sampul atau sinopsisnya" tapi sebenarnya, orang tetap ada yang menilai buku dari sampulnya.

Ada beberapa hal yang mengganggu di novel ini. Sebenarnya detail kecil, tapi bagi saya mengganggu. Pertama, nama tokoh Yoshida Haru sama dengan nama salah satu tokoh di salah satu anime Jepang, Tonari no Kaibutsu-kun, walau wataknya beda. Ada satu ciri fisik yang sama antara Yoshida Haru di novel Haru no Sora dan Yoshida Haru di anime Tonari no Kaibutsu-kun yaitu sama-sama berambut hitam.

Kedua, nama sekolahnya, Hyouka Gakuen. Hyouka juga nama salah satu anime, namun saya tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya terdengar aneh jika namanya Hyouka, karena arti Hyouka adalah es krim. Sekolah es krim?

Ketiga, ada bagian saat Haru mengajarkan Kanji pada Sora di kedai Monja. Di anime Tonari no Kaibutsu-kun juga ada bagian ke kedai Monja. Ada keempat, kelima, dan ke-lainnya. Jadi, silakan membaca! Mungkin harus diberi kata-kata "Mohon maaf jika ada kesamaan nama orang, tempat, atau lainnya." Seperti yang biasa ada di awal sinetron-sinetron televisi.

Tapi secara keseluruhan, saya suka kok dengan cerita ini. 3,5 bintang.

Sabtu, 09 Mei 2015

Karam

Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘The Wind Leading to Love’

Aku menjejakkan kaki di atas pasir putih sambil berjalan-jalan di sekitar pantai. Sudah berapa tahun sejak terakhir kali aku ke sini? Bodohnya aku. Aku meninggalkan desa kecilku yang dilapisi debur ombak dan panorama bak lima puluh persen surga. Aku menghela nafas. Sudahlah. Itu hal yang tak perlu dikomentari lagi. Keputusanku untuk pergi sudah terlambat disesali. Pun, Ayah dan Rudi tak akan kembali. Ingatanku mulai mengabur ke suatu kata bernama 'masa lalu'.
***
"Lala!" panggil seseorang di jendela kamarku.
Malam-malam begini, ada orang manggil di jendela. Aku takut untuk membuka jendela, tapi aku juga ingin tahu siapa yang memanggilku.
"Siapa?"
"Ini saya, Rudi!"
"Ya ampun, ternyata Rudi!"
Aku langsung membuka jendela kamar dan mendapati Rudi dalam keadaan basah dari ujung kepala sampai ujung kakinya.
"Kamu-- kenapa kok basah begitu?"
"Saya habis nangkap ini!" Ia tertawa lebar sambil menunjukkan tangkapannya, lobster merah besar.
"Wah!"
"Kamu tau, La? Ini gara-gara kamu. Tempo hari kamu bilang pengen makan lobster, kan?"
Aku terdiam. Rudi benar. Aku jadi merasa bersalah terhadapnya. Tapi, kenapa harus repot-repot mencarikan lobster? Aku tersenyum kecil dalam hati. Aku dan Rudi adalah teman masa kecil. Dan orang tua kami sepakat menjodohkan kami sehingga, ya, aku dekat sejak kecil dengan Rudi. Rumah Rudi berjarak kira-kira 6 rumah dari rumahku. Rudi anak pantai yang lincah sekali dan menghargai teman. Pernah suatu hari ia mengajakku merasakan rasanya tidur berselimut pasir di pantai. Alih-alih dingin, pasir itu malah membalut tubuhku dengan hangat. Terima kasih, Rudi.
"Eh, La. Jangan melamun!"
"Oke, maaf."
"La, sebentar lagi ayahmu melaut. Dan saya akan ikut. Saya bakal ngumpulin banyak uang untuk pernikahan kita!"
"Terima kasih, Rudi. Hati-hati, ya..." Aku menguap karena ngantuk. Ini sudah malam sekali karena di ujung jendelaku sinar bulan mulai naik ke atas langit.
"Hahaha. Kamu ngantuk, ya? Ya udah tidur sana. Tutup jendelanya. Besok pagi kamu sudah makan lobsternya kok"
Aku hanya mengangguk. Aku langsung menutup jendela dan bermimpi indah. Pernikahanku dengan Rudi hanya tinggal menghitung hari. Aku paham alasannya ingin mencari penghasilan lebih banyak lagi.
                Sinar matahari menembus di sela-sela lubang kamarku. Aku bangun pagi dan beranjak membantu ibuku di dapur seperti biasanya. Tapi aku berbalik ketika aku mendengar suatu suara langkah kaki.
Drap! Drap! Drap!
“Ada apa? Ibu!”
“La.. la…”Ibu keluar dari kamar sambil menangis.
“Kenapa, Bu?”
Perasaanku tidak enak. Ada sesuatu yang terjadi pagi ini.
“Kapal bapakmu karam di laut, Nak. Bapakmu, Rudi dan beberapa orang lain tenggelam. Cuma satu yang berhasil selamat. Dia lagi ditolong di puskesmas.” Ucap Ibu sesenggukan.
Tenggorokanku tercekat. Baru semalam aku bermimpi tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Muka-muka bahagia orang tuaku. Tuhan, kenapa kau renggut nyawa Ayah dan Rudi di saat yang bersamaan? Aku mencoba untuk menahan tangis dan pergi ke luar rumah. Aku menatap sebentar pemandangan di sekitarku. Langit luas. Laut yang birunya bercampur dengan langit. Aku bersyukur hidup dengan pemandangan seindah ini. Tapi, siapa sangka pemandangan indah ini ternyata menyimpan monster ombak yang merenggut nyawa kedua orang yang kusayangi sekaligus. Aku terduduk di pasir pantai. Melamun. Pikiranku kosong sama sekali. Aku kembali ke rumah. Memikirkan yang seharusnya kulakukan. Tetanggaku mulai berdatangan memberi simpati pada ibuku.
“Bu, Lala izin, ya.”
“Ke mana, Nak? Jangan ke mana-mana. Ibu tidak mau sendirian.”
“Ingin menenangkan diri, Bu. Maafkan Lala.”
Aku pamit dan mencium tangan ibu sambil menangis. Aku tergesa memasukkan beberapa baju dan barang yang kuperlukan ke dalam tas. Aku akan merantau. Sejauh mungkin sampai aku bisa lupa tentang Ayah dan Rudi. Aku keluar lewat pintu belakang dekat dapur. Di meja dapur, aku menemukan sesuatu. Lobster. Yang dibawa Rudi tadi malam. Aku mengambil plastik dan memasukkan lobster itu ke dalamnya sebelum sadar ada kertas di balik badan lobster itu.
“Tidur nyenyak. Mimpi indah. Saya akan kembali dan kita akan menikah di tempat yang tepat.”
Tulisan Rudi. Dan aku langsung keluar. Ke manapun yang bisa menghilangkan luka di hati ini.
***

Tapi ternyata luka itu belum hilang. Lima tahun berlalu dan aku (masih) tetap di keadaan yang sama.

Sabtu, 02 Mei 2015

Untuk Apa Menandai Waktu?

https://pwgara.wordpress.com/2015/04/23/give-away-untuk-apa-kau-menandai-waktu/

https://pwgara.wordpress.com/2015/04/23/give-away-untuk-apa-kau-menandai-waktu/comment-page-2/#comment-2465

IMG_20150422_211733



Menurutku, kita sebenarnya tidak menandai waktu. Bagiku, kata 'menandai waktu' itu sendiri sebenarnya hanya pemaksaan dari kita karena kita ingin membekukan waktu sejenak untuk mengenang sesuatu. Seperti menulis diari misalnya. Dalam setiap lembar diari, kita menandai waktu-waktu khusus saat peristiwa yang ditulis itu terjadi kan? Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, Minggu. Ah, waktu terus berjalan tanpa kita tahu. Semakin cepat selambat yang kita ketahui. Dan tahu-tahu saja, hari esok sudah tiba. Lalu kita dengan jujurnya berkata ingin kembali ke hari kemarin. Kembali ke peristiwa kemarin. Bukankah kita dengan egoisnya ingin waktu melambat saat peristiwa menyenangkan terjadi? Dan ingin waktu berlari saat ada peristiwa sedih?
Jadi, apa gunanya menandai waktu? Selain mengenang, menandai waktu juga bisa membuat kita disiplin. Semua orang, menurutku, pasti pernah mengalami kata terlambat. Kalau orang yang mengalami kata terlambat itu sadar, maka ia akan menandai waktu. Ia akan membuat jadwal waktunya sendiri. Oke, ini pribadi sih wkwk. Orang yang disiplin rata-rata punya jadwal waktu, sepanjang survey yang aku lakukan. Nah, jadwal waktu itu berisi jam saat-saat di mana mereka akan melakukan aktivitas sehari-harinya. Tapi, kok ya, di zaman sekarang, waktu itu dipergunakan nggak semestinya.
Beberapa orang kekurangan waktu karena mereka menyibukkan diri. Tapi, beberapa orang membutuhkan waktu lebih banyak untuk menjalani hidup. Dan, kadang, para orang-orang yang merasa kekurangan waktu ini tidak memikirkan bagaimana perasaan orang-orang yang membutuhkan waktu. Maka, menandai waktu bisa menjadi sebuah rasa syukur. Kita yang—semestinya bersyukur karena tidak kekurangan waktu dan tidak pula butuh waktu.

Selain itu, apa lagi? Menandai waktu bisa membuat kita menahan keluhan. Ini berhubungan sama rasa syukur di atas. Dengan bersyukur, kita bisa memahami keadaan kita yang lebih baik dari orang lain. Nah, dengan itu, kita bisa belajar bersyukur kalau masih ada yang tidak lebih baik dari kita. Lucu, ya. Menandai waktu banyak fungsinya. Padahal, waktu itu sendiri hanya nama. Waktu itu kan kasat mata. Jamlah yang mewujudkan seperti apa waktu itu sendiri^^


akun twitter : @anotheruye

Kamis, 02 April 2015

Intertwine, Why?


Intertwine ya...
Jujur. Nggak terlalu suka dan nggak punya novel bertema wedding. Soalnya aku masih SMA. Jadi belum kepikiran ke menikah gitu. Kalau dibilang penggemar FLOCK, nggak terlalu juga. Aku sama sekali nggak punya novel-novel mereka. Tapi sering banget baca sekilas review-reviem novel mereka. Apalagi kolektor buku bertandatangan. Rumahku di pulau kecil. Buat ke kota terdekat yang ada toko bukunya itu butuh 3-4 jam. Tapi itupun kalo masa masa liburan. Sementara kadang penulis buku itu ngadain acara 'tanda tangan' gitu pas bukan liburan. hikhikhik. tapi aslinya pengennnn baaaanget punya buku yg ditandatangani penulisnya.
Jadi, kenapa pengen punya Intertwine?
Tertarik. Dari covernya keliatan agak romance gitu kan, soalnya bunga mawar. Siapa sih yang nggak tau bunga mawar itu simbol cinta? Cielah. Setelah liat sinopsisnya, tambah tertarik. Tertarik sama tokoh-tokohnya. Dan tertarik gimana semua cerita itu dihubungkan dengan satu tokoh misterius. Apalagi itu semacam cerpen yang panjang. Jadi menurutku lebih menikmati ceritanya gimana. Semoga kesampean punya intertwine. Masa harus nunggu liburan semester masih dua bulan lagi... #Kenapajadicurhat hahaha. oke. itu alasanku pengen punya intertwine. kamu?

Rabu, 18 Maret 2015

Huruf D di Depan Kata Ia

Ia mengetukkan cutout booties yang dikenakannya ke kaki meja. Pasti bosan menunggu seseorang selama itu di kafe. Apalagi orang yang ditunggu adalah laki-laki. Tapi, kenapa dia mau melakukan hal aneh seperti itu? Kalau aku jadi dia, aku tidak akan mau menunggu selama itu di kafe hanya untuk janjian dengan seseorang. Malas. Mending nonton drama korea di laptop.

"Aduh, maaf banget ya Li! Tadi aku masih jemput ibuku dari stasiun.."
"Nggak apa-apa kok. Aku juga barusan aja datangnya. Jadi, gimana? Kamu mau?"
"Oh, soal itu. Ayo kita bicarakan lagi. Sebentar aku pesan minuman dulu."
Ia mengangguk.

Ya Tuhan. Dia bohong. Barusan katanya? Lihat! Cokelat hangatnya telah dingin dan tak mengepulkan asap lagi. Dia tersenyum. Padahal semenit lalu, dia masih berkutat dengan jam dan muka kesalnya. Aku penasaran dengan apa yang mereka bicarakan.

"Bukan aku nggak mau, Rif. Tapi, aku merasa nggak pantas. Aku nggak sebagus apa yang kamu pikirkan."
"Aku nggak permasalahkan itu, Li. Selama ini aku cuma liat kamu dari luarnya gimana."
"Ganti topik, yuk. Aku agak nggak suka sama topik kayak gini."
"Sama."

Apa yang mereka bicarakan? Bagaimana seorang Li yang kalem dan diam itu mau bertemu dengan lawan jenis seperti ini? Dan bagaimana seorang Arif yang memang berbudi arif itu mau mengiyakan permintaan untuk bertemu Li?

Hujan. Mendadak dan deras sekali. Kenapa harus hujan? Aku jadi terpaksa masuk ke dalam kafe yang sama dengan mereka. Aku mengambil tempat di pojok kafe agar tak terlihat oleh mereka sekaligus masih bisa mendengar percakapannya. Kupesan secangkir kopi latte pada pelayan.

"Bagaimana kalau Fina mendengar keputusanku?"
"Anak-anak itu butuh kita. Butuh guru, Li. Fina mungkin bisa bantu kita. Jadi, nggak perlu takut kehilangan."

Fina? Hei. Dia menyebut namaku. Keputusan apa yang sedang dia buat dengan Arif? Secangkir kopi latte milikku telah datang. Aku menyesap sedikit rasanya. Pahit. Aku menambahkan creamer dan mencicipi lagi. Tetap pahit. Kenapa, ya?

"Oke, oke. Aku siap, Li. Insya Allah. Materinya apa?"
"Ini. Aku sudah fotokopikan. Lengkap sama kepengurusan dan lain-lainnya. Sudah lengkap ditaruh di map."
"Serius banget kamu, ya. Sekretaris, sih. Hahaha."
"Sudah tugas. Ketua sama wakilnya lagi sibuk ujian kan. Nggak apa aku yang nanggung."
"Ya sudah. Aku pulang, ya. Semoga nemu becak atau angkut biar nggak kehujanan."

Li mengangguk dan menyusul Arif keluar kafe. Tersisa aku yang masih keheranan mengapa rasa kopi latte ini masih tetap pahit.

***
Aku mengetukkan cutout booties yang kukenakan ke kaki meja. Ini milik kakakku, Li. Membosankan sekali menunggu seseorang. Cokelat hangat yang sejak tadi kupesan telah dingin. Aku janji untuk bertemu Arif, membicarakan tentang anak-anak desa yang kekurangan pendidikan. Kami berencana membuat acara belajar mengajar untuk anak desa selama dua minggu. Kenapa aku mau melakukan hal aneh ini? Padahal lebih baik nonton drama korea di rumah. Entahlah.


Hujan mulai turun. Arif datang dan menyapa dengan senyum seperti biasanya. Rasanya aku yang terlalu ingin tahu. Ingin tahu alasan mengapa kopi latte waktu itu tak semanis biasanya. Ingin tahu mengapa sekarang aku mau menunggu selama ini. Berlawanan dengan aku yang waktu itu.

Flashfiction ini diikutsertakan dalam #QuizDy 
https://m.facebook.com/notes/dy-lunaly/quizdy-are-you-stalker-or-php-er/433948023439769/

Rabu, 11 Maret 2015

WIshlist, aamiin :D

Aku tinggal di kota kecil, Pamekasan, Madura. Butuh 4 jam ke surabaya buat beli buku. Itupun masih ngeluarkan ongkos buat perjalanan bolak balik. Tiap tahun, mesti nyempetkan k gramedia pas lomba. Tapi kalau lomba, ya gk bawa uang lebih gitu. Sedih aja. Minat baca apalagi nulis d kotaku sedikit. Masih banyak orang yang malas membaca. Apalagi dengan adanya android-android gitu. Negatifnya ya, android itu mengurangi waktu untuk membaca. Aku pribadi, suka membaca di tengah-tengah orang yang malas membaca. Suka beli buku di tengah-tengah orang yang berpikir buku itu kurang penting. Suka dihadiahkan buku di tengah-tengah orang yang berpikir buku itu nggak ada gunanya. Cuma koleksi. Sedih sekali tiap ingat realita ini. Tapi, aku tetap bertahan. Suka membaca. Masih ada banyak orang yang lebih tidak bisa membaca daripada aku, kan? Misalnya anak-anak daerah pedalaman Papua yang untuk ke kotanya saja harus menempuh puluhan kilometer hanya dengan kaki. Semestinya aku bersyukur, ya...

WISHLIST :

1. PBC Ring of Ballerina
2. PBC Crunchy: The journal of Dream
3. Assalamualaikum, Beijing! -Asma Nadia
4. Negeri 5 Menara (cover lama) -A. Fuadi
5. Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah -Tere Liye
6. Menjeda, Namaku Loui(sa) -Adya Pramudita
7. Intertwine - FLOCK
8. Angels of Morning Star Club
9. Eleanor -Arumi E
10. Bonus Track

Pengen baca buku terbitannya haru sama bukunya bernard batubara. bagus, ya katanya?

Aksaraaksara

Bagiku, tulisan menjelma teman. Dan cerita berwujud aksara sehari-hari adalah sahabat. Otomatis, buku merupakan kekasih hati paling setia. Mereka tidak berlisan. Tidak memiliki satupun organ-- karena mereka benda mati. Tapi, di kala sepi. Terkadang, mereka lebih menasihati daripada yang berbicara. Lebih memeluk daripada yang memiliki tangan. Dan lebih logis dari yang memiliki logika. Tapi tidak berarti aku bermain sendiri di dalamnya. Ternyata, dunia antar satu huruf dengan huruf lain berkaitan. Dan, memiliki teman karena teman itu lebih menyenangkan, kau tahu?

Setidaknya, izinkan aku berkhayal di tengah realita kehidupan ketika bosan berlayar di pulau kenyataan.

Minggu, 08 Maret 2015

Salah?

Bagiku, tidak pernah ada kesalahan karena mengenalmu. Jikapun ada, maka itu salahku karena memilih untuk mengenalmu. Semua sesederhana itu. Namun, tidak pernah ada kesalahan pula bila aku lupa. Itu bukan salahku saat aku memilih lupa mengenalmu. Juga bukan salahmu saat kau lupa dengan aku. Atau sok lupa? Setiap orang egois, kau tahu? Termasuk aku, dan kamu juga. 

Sebagai penutup, tidak salah kan kalau aku dan kamu tak dapat diganti dengan kata kita?

Pamekasan, 8 Maret 2015
21.21 WIB

Sabtu, 07 Maret 2015

Who is Angel?

Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘Angels of Morning Star Club’


“Malaikat? Apa itu? Tidak ada kata itu dalam kamusku.” Ucap Lun tajam saat menjawab pertanyaanku.

Aku menghela nafas. Mungkin, Lun pantas mengatakan itu. Kisah hidupnya sangat miris.  Aku, sahabat terdekatnya, hanya bisa membantu agar Lun tidak sampai sakit jiwa. Saat ini Lun tinggal denganku. Kami menyewa satu kamar kos yang cukup luas untuk dua orang. Sampai saat ini, aku belum pernah mendengar Lun menangis. Setiap hari wajahnya berkisar antara bahagia-datar-sedih. Jika orang melihat wajahnya, akan terbayang sosok nona yang perfeksionis. Entahlah. Lima tahun aku bersama Lun, dan aku belum mengerti kepribadiannya.

Malam hari. Lun sering pulang malam saat aku sudah terlelap. Aku tahu itu karena aku hafal suara langkah kaki Lun yang sangat khas. Aku mengabaikannya dan ingin terbuai mimpi lagi. Tapi sesaat kemudian, aku mendengar suara tangisan. Lun menangis? Ada apa? Aku ingin sekali bangun  tidur dan mengusap airmata di pipinya. Tapi, aku lebih takut pada kata-kata Lun yang tak ingin berbagi kesedihannya padaku. Dengan keegoisan, aku kembali tidur.

Paginya, aku pura-pura tidak tahu soal tangisan Lun. Aku melihat matanya tidak sembab. Tidak ada bekas tangisan di sana. Tapi, aku melihat air mata yang meresap di bantal Lun. Air mata yang belum kering. Sama seperti kesedihannya.

Lun lahir di penghujung bulan Juni. Saat hujan deras, ibunya pontang-panting pergi ke rumah sakit sendiri. Tanpa ayahnya. Ayahnya meninggal karena kecelakaan tepat seminggu sebelum Lun lahir. Setelah melahirkan Lun, ibunya memutuskan menikah lagi karena tidak ada penghasilan cukup. Ia menikah dengan pria yang baik. Pria itu mencukupi kebutuhannya dan menyayangi Lun sepenuh hati. Lun memanggilnya ayah. Namun saat malam, pria itu sering menyakiti ibunya. Sampai Lun menginjak sekolah dasar. Lun tanpa sengaja melihat ayahnya menyakiti ibunya. Dan dia mulai menyimpan dendam pada ayahnya.

“Ayah!” Lun memeluk ayahnya yang menjemput di gerbang sekolah. Dan ayahnya membalas dengan hangat.

Lun memutuskan untuk mengubur dendam itu di hatinya. Ia pikir, mungkin ayahnya itu mau latihan drama. Sama seperti di sekolahnya. Hari-hari Lun berlangsung bahagia. Dan Lun tidur dengan hati yang tenang. Ia tidak mengetahui segala sesuatunya. Ayah Lun dibunuh oleh kakek Lun sendiri. Ibu Lun histeris. Malam itu juga, pemakaman disegerakan. Supaya Lun tidak tahu kalau ayahnya sudah meninggal.

“Bu, mana ayah?” Tanya Lun.

Dengan mata berkaca-kaca ibu Lun menjawab, “Ayah sedang jalan-jalan ke negeri yang jauh sekali. Lun mau ikut ayah?”

“Nggak. Lun mau bareng ibu aja. Tapi, Lun mau telepon ayah biar ayah bisa bawa oleh-oleh kalau pulang.”

Ibunya mengangguk. Tersenyum hambar. Sejak itu pula, ibu Lun bekerja banting tulang menghidupi keluarganya. Siang malam ia bekerja keras.

“Bu, istirahat dulu. Lun bisa bantu kok besok,”

“ Lun, belajar yang rajin ya. Ibu ini nggak punya apa-apa. Cuma punya kamu, nak.”

“Iya, bu. Iya.”
***
“Sif, malaikat itu seperti apa?” Tanya Lun.

“Nggak tahu, Lun. Aku belum pernah lihat malaikat soalnya, hahaha.” Candaku.

“Kata agama, malaikat itu makhluk gaib Tuhan yang punya sayap kan? Makhluk ciptaanNya yang 
selalu menepati perintah Tuhan. Benar tidak?”

“Iya, benar.”

“Aku kenal satu malaikat, Sif. Dia tak bersayap. Kadang, ia tidak menepati perintah Tuhan. Tapi, buatku dia malaikat. Segalanya. Aku terlalu sayang padanya.”

“Siapa Lun? Tumben kamu bicara dalem gini.”

“Ibu. Ibuku.”

Butir pertama airmatanya telah jatuh. Sempurna tertarik oleh gravitasi setelah mengalir di pipi Lun.

“Aku nggak bisa lupa, sif. Waktu kecil, ibuku disakiti sama ayah. Dan ibuku diam tidak mengeluh. 
Apa ibu cinta dengan ayah? Aku tidak tahu. Mungkin ia mempertahankan hubungan demi aku yang merengek-rengek minta mainan pada ayah tiap pulang sekolah.”

“Lun? Kamu, nggak apa?”

“Setelah itu, ayah dibunuh kakek. Ibu merahasiakan pemakamannya. Aku tahu itu, tapi ibu bilang ayah jalan-jalan ke luar negeri. Dan kakek bersikap seolah ia tak bersalah. Ada apa dengan keluargaku? Aku tidak mengerti.”

“Aku sekolah di sekolah bagus, Sifa. Ibu yang mendaftarkanku. Aku baru tahu kalau ibuku ternyata berjualan di pasar sekaligus menjadi tukang sampah. Semua untuk membiayaiku. Ibu menyembunyikan seragam tukang sampahnya dan mencucinya saat malam agar aku tak tahu.”
Aku diam dan mendengarkan ceritanya.

“ Tapi aku tahu, Sifa. Dan aku membalas semua dengan prestasi. Apakah ibuku bahagia? Aku tidak tahu. Tapi ia tersenyum. Sifa, ibuku tadi malam meninggal. Kerabatku di desa meneleponku untuk segera pulang.”

Ia menangis sesenggukan.

“Sudah, Lun. Datang aja ke pemakaman ibumu. Kamu sangat beruntung punya ibu. Punya malaikat di hidupmu.” Jawabku sambil tersenyum, lalu aku berbalik badan.

Seandainya kamu tahu, Lun. Aku yatim piatu dan menjadi pengamen jalanan sejak kecil. Setiap orang pasti punya ceritanya sendiri.


Siapa malaikat di hidupku? Aku lebih tidak paham hal itu daripada kamu, Lun.

Siapa Dia?

Sekali lagi dia terbatuk-batuk parah. Wajahnya pucat seakan kehabisan darah. Aku tak tau siapa dia. Aku menyimpan iba sambil mengobatinya. Memberikan obat batuk serta minyak kayu putih untuk melegakan tenggorokannya sesaat.

Aku sedang menjalankan piket pmr hari ini. Dan tiba-tiba ia masuk ke uks sambil memegang dadanya. Ia tidak mengeluh atau mengatakan sakitnya padaku, tapi hanya tersenyum.

"Terima kasih, petugas pmr." katanya pelan. Suaranya parau namun melekat jelas dalam pendengaranku. Aku hanya mengangguk. Dan dia kembali ke kelas.

Seminggu berlalu. Sekolah sedang sibuk-sibuknya karena sebentar lagi ada HUT Sekolah. Begitu pula PMR. Di balik kemeriahan HUT Sekolah, pasti akan ada yang jatuh sakit. Entah karena kelelahan, kepanasan atau apapun. Di saat itulah PMR siap menangani. Dan aku adalah koordinator PMR yang akan menangani siswa yang mengalami luka.
***
Akhirnya, HUT Sekolah pun dimulai. Semua terlihat ceria dan senang. Ada banyak penampilan di panggung. Setiap kelas diwajibkan member penampilan berdurasi lima menit. Kelasku, X-A menampilkan lawakan berupa menirukan gaya boyband. Aku menunggu penampilan lucu teman-temanku sambil berdiri di depan UKS. Letak UKS di dekat panggung. Kami PMR berjaga-jaga jika saja ada yang sakit atau pingsan.

“Sekarang, kita akan melihat penampilan dari kelas………. Sepuluh A!” ucap pembawa acara.

“Yeeeee!!!”

Kudengar sorak ceria itu dari teman-temanku yang mendukung dari samping panggung. Baru saja melihat mereka berdiri, tawaku sudah berderai. Boyband lawak itu terdiri atas lima orang. Mereka menirukan gaya boyband dan menari dengan cara aneh sehingga membuat semua orang tertawa. Bahkan guru-guru pun sampai keluar dari ruang guru saking hebohnya mendengar teriakan dan tawa penonton.

Ternyata ada kesalahan. Di menit keempat, salah satu temanku tak sengaja tersandung kabel pengeras suara sehingga ia terjatuh dan peralatan pengeras suara lain ikut berjatuhan. Begitu pula panggungnya mulai doyong. Semua orang berlari panik menjauhi panggung. Aku dengan segera berlari untuk menyelamatkan temanku yang jatuh. Setelah menolongnya dari lilitan kabel, aku menyuruhnya segera pergi dari panggung.

Hingga, ada suara benda jatuh. Dan segalanya samar.

“Petugas PMR, bangun. Kok petugas PMR malah terluka? Seharusnya petugas PMR itu nggak luka.” Itu suara yang kudengar.

Suara itu lagi. Suara yang telah berhari-hari tanpa sengaja aku rindukan. Aku membuka mata perlahan. Di pandanganku, ada wajahnya. Ia tersenyum seperti saat pertama kami bertemu.

“Petugas PMR, ini hansaplast. Di tangan dan dahimu ada luka. Pasang sendiri, ya. Aku takut dosa.” Katanya.

“Jangan panggil petugas PMR. Namaku Alia.”

Ia hanya mengangguk dan tersenyum. Setelah itu mengucap salam dan pergi dari hadapanku. Siapa dia? Aku lupa bertanya namanya.

diikutsertakan dalam #QuizDy
https://www.facebook.com/notes/dy-lunaly/quizdy-are-you-stalker-or-php-er/433948023439769?notif_t=like

Kamis, 12 Februari 2015

Kasih Sayang Kakak

Semuanya karena sepanjang hidup ketiga gadis kecil kakak-beradik itu telah menyaksikan bagaimana ibu dan Enong berjuang untuk mereka. Enong bekerja keras menjadi pendulang timah sejak usianya baru 14 tahun. Ia berusaha sedapat-dapatnya memenuhi apa yang diperlukan ketiga adiknya dari seorang ayah. Dibelikannya mereka baju Lebaran, diurusnya jika sakit, dan ia menangis setiap kali mengambil rapor adik-adiknya. Sebab, saat menandatangani rapor yang seharusnya ditandatangai ayahnya itu, ia rindu pada ayahnya.
Ania dengan cepat tumbuh remaja. Perlahan-lahan ia mengerti pengorbanan Enong dan merasa kasihan. Ia minta berhenti sekolah karena ingin membantu. Enong melarangnya. Suatu ketika, Enong mengajak Ania ke sebuah toko di Tanjong Pandan. Ia membelikan adik pangkuannya itu baju yang bagus.
“Lebaran masih lama. Mengapa Kakak membelikanku baju?”
Enong tersenyum.
“Karena aku ingin kau tetap merasa engkau cantik.” Enong berlalu. Ania menangis di dalam toko itu sampai tersedak-sedak.
Bersusah payah Enong membujuk Ania. Tubuhnya yang kekar seperti lelaki karena bertahun-tahun mendulang timah merengkuh tubuh adiknya. Tangannya yang kasar membelai-belai rambutnya. Sungguh sebuah pemandangan memilukan yang akan melekat lama dalam kenanganku. Betapa besar hati perempuan itu.


Setiap saat saya membaca bagian ini dari novel Cinta dalam Gelas karya Andrea Hirata, selalu saya terharu. Di masa modern seperti ini, ternyata masih terlihat kasih sayang dari seorang kakak kepada adiknya. Kasih sayang sederhana yang ditunjukkan kakak dengan membelikan adiknya baju dari uang hasil keringatnya sendiri. Betapa langka menemukan jenis kasih sayang seperti itu di tengah-tengah orang banyak yang mulai menganggap cinta kasih seperti batu yang jika bosan tinggal dilempar dan mencari batu lain yang lebih bagus. Sudah jarang ada kakak yang mau mengurus adiknya saat sakit. Banyak remaja yang mempunyai saudara tapi kurang peduli terhadap saudaranya. Karena kasih sayang itu tidak butuh yang mewah, cukup sederhana dan tulus saja kok.