Semuanya karena sepanjang hidup
ketiga gadis kecil kakak-beradik itu telah menyaksikan bagaimana ibu dan Enong
berjuang untuk mereka. Enong bekerja keras menjadi pendulang timah sejak
usianya baru 14 tahun. Ia berusaha sedapat-dapatnya memenuhi apa yang diperlukan
ketiga adiknya dari seorang ayah. Dibelikannya mereka baju Lebaran, diurusnya
jika sakit, dan ia menangis setiap kali mengambil rapor adik-adiknya. Sebab,
saat menandatangani rapor yang seharusnya ditandatangai ayahnya itu, ia rindu
pada ayahnya.
Ania dengan cepat tumbuh remaja.
Perlahan-lahan ia mengerti pengorbanan Enong dan merasa kasihan. Ia minta
berhenti sekolah karena ingin membantu. Enong melarangnya. Suatu ketika, Enong
mengajak Ania ke sebuah toko di Tanjong Pandan. Ia membelikan adik pangkuannya
itu baju yang bagus.
“Lebaran masih lama. Mengapa Kakak
membelikanku baju?”
Enong tersenyum.
“Karena aku ingin kau tetap merasa
engkau cantik.” Enong berlalu. Ania menangis di dalam toko itu sampai
tersedak-sedak.
…
Bersusah payah Enong membujuk Ania.
Tubuhnya yang kekar seperti lelaki karena bertahun-tahun mendulang timah
merengkuh tubuh adiknya. Tangannya yang kasar membelai-belai rambutnya. Sungguh
sebuah pemandangan memilukan yang akan melekat lama dalam kenanganku. Betapa
besar hati perempuan itu.
Setiap saat saya membaca bagian ini
dari novel Cinta dalam Gelas karya Andrea Hirata, selalu saya terharu. Di masa
modern seperti ini, ternyata masih terlihat kasih sayang dari seorang kakak
kepada adiknya. Kasih sayang sederhana yang ditunjukkan kakak dengan membelikan
adiknya baju dari uang hasil keringatnya sendiri. Betapa langka menemukan jenis
kasih sayang seperti itu di tengah-tengah orang banyak yang mulai menganggap
cinta kasih seperti batu yang jika bosan tinggal dilempar dan mencari batu lain
yang lebih bagus. Sudah jarang ada kakak yang mau mengurus adiknya saat sakit.
Banyak remaja yang mempunyai saudara tapi kurang peduli terhadap saudaranya.
Karena kasih sayang itu tidak butuh yang mewah, cukup sederhana dan tulus saja
kok.