Sabtu, 07 Maret 2015

Who is Angel?

Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘Angels of Morning Star Club’


“Malaikat? Apa itu? Tidak ada kata itu dalam kamusku.” Ucap Lun tajam saat menjawab pertanyaanku.

Aku menghela nafas. Mungkin, Lun pantas mengatakan itu. Kisah hidupnya sangat miris.  Aku, sahabat terdekatnya, hanya bisa membantu agar Lun tidak sampai sakit jiwa. Saat ini Lun tinggal denganku. Kami menyewa satu kamar kos yang cukup luas untuk dua orang. Sampai saat ini, aku belum pernah mendengar Lun menangis. Setiap hari wajahnya berkisar antara bahagia-datar-sedih. Jika orang melihat wajahnya, akan terbayang sosok nona yang perfeksionis. Entahlah. Lima tahun aku bersama Lun, dan aku belum mengerti kepribadiannya.

Malam hari. Lun sering pulang malam saat aku sudah terlelap. Aku tahu itu karena aku hafal suara langkah kaki Lun yang sangat khas. Aku mengabaikannya dan ingin terbuai mimpi lagi. Tapi sesaat kemudian, aku mendengar suara tangisan. Lun menangis? Ada apa? Aku ingin sekali bangun  tidur dan mengusap airmata di pipinya. Tapi, aku lebih takut pada kata-kata Lun yang tak ingin berbagi kesedihannya padaku. Dengan keegoisan, aku kembali tidur.

Paginya, aku pura-pura tidak tahu soal tangisan Lun. Aku melihat matanya tidak sembab. Tidak ada bekas tangisan di sana. Tapi, aku melihat air mata yang meresap di bantal Lun. Air mata yang belum kering. Sama seperti kesedihannya.

Lun lahir di penghujung bulan Juni. Saat hujan deras, ibunya pontang-panting pergi ke rumah sakit sendiri. Tanpa ayahnya. Ayahnya meninggal karena kecelakaan tepat seminggu sebelum Lun lahir. Setelah melahirkan Lun, ibunya memutuskan menikah lagi karena tidak ada penghasilan cukup. Ia menikah dengan pria yang baik. Pria itu mencukupi kebutuhannya dan menyayangi Lun sepenuh hati. Lun memanggilnya ayah. Namun saat malam, pria itu sering menyakiti ibunya. Sampai Lun menginjak sekolah dasar. Lun tanpa sengaja melihat ayahnya menyakiti ibunya. Dan dia mulai menyimpan dendam pada ayahnya.

“Ayah!” Lun memeluk ayahnya yang menjemput di gerbang sekolah. Dan ayahnya membalas dengan hangat.

Lun memutuskan untuk mengubur dendam itu di hatinya. Ia pikir, mungkin ayahnya itu mau latihan drama. Sama seperti di sekolahnya. Hari-hari Lun berlangsung bahagia. Dan Lun tidur dengan hati yang tenang. Ia tidak mengetahui segala sesuatunya. Ayah Lun dibunuh oleh kakek Lun sendiri. Ibu Lun histeris. Malam itu juga, pemakaman disegerakan. Supaya Lun tidak tahu kalau ayahnya sudah meninggal.

“Bu, mana ayah?” Tanya Lun.

Dengan mata berkaca-kaca ibu Lun menjawab, “Ayah sedang jalan-jalan ke negeri yang jauh sekali. Lun mau ikut ayah?”

“Nggak. Lun mau bareng ibu aja. Tapi, Lun mau telepon ayah biar ayah bisa bawa oleh-oleh kalau pulang.”

Ibunya mengangguk. Tersenyum hambar. Sejak itu pula, ibu Lun bekerja banting tulang menghidupi keluarganya. Siang malam ia bekerja keras.

“Bu, istirahat dulu. Lun bisa bantu kok besok,”

“ Lun, belajar yang rajin ya. Ibu ini nggak punya apa-apa. Cuma punya kamu, nak.”

“Iya, bu. Iya.”
***
“Sif, malaikat itu seperti apa?” Tanya Lun.

“Nggak tahu, Lun. Aku belum pernah lihat malaikat soalnya, hahaha.” Candaku.

“Kata agama, malaikat itu makhluk gaib Tuhan yang punya sayap kan? Makhluk ciptaanNya yang 
selalu menepati perintah Tuhan. Benar tidak?”

“Iya, benar.”

“Aku kenal satu malaikat, Sif. Dia tak bersayap. Kadang, ia tidak menepati perintah Tuhan. Tapi, buatku dia malaikat. Segalanya. Aku terlalu sayang padanya.”

“Siapa Lun? Tumben kamu bicara dalem gini.”

“Ibu. Ibuku.”

Butir pertama airmatanya telah jatuh. Sempurna tertarik oleh gravitasi setelah mengalir di pipi Lun.

“Aku nggak bisa lupa, sif. Waktu kecil, ibuku disakiti sama ayah. Dan ibuku diam tidak mengeluh. 
Apa ibu cinta dengan ayah? Aku tidak tahu. Mungkin ia mempertahankan hubungan demi aku yang merengek-rengek minta mainan pada ayah tiap pulang sekolah.”

“Lun? Kamu, nggak apa?”

“Setelah itu, ayah dibunuh kakek. Ibu merahasiakan pemakamannya. Aku tahu itu, tapi ibu bilang ayah jalan-jalan ke luar negeri. Dan kakek bersikap seolah ia tak bersalah. Ada apa dengan keluargaku? Aku tidak mengerti.”

“Aku sekolah di sekolah bagus, Sifa. Ibu yang mendaftarkanku. Aku baru tahu kalau ibuku ternyata berjualan di pasar sekaligus menjadi tukang sampah. Semua untuk membiayaiku. Ibu menyembunyikan seragam tukang sampahnya dan mencucinya saat malam agar aku tak tahu.”
Aku diam dan mendengarkan ceritanya.

“ Tapi aku tahu, Sifa. Dan aku membalas semua dengan prestasi. Apakah ibuku bahagia? Aku tidak tahu. Tapi ia tersenyum. Sifa, ibuku tadi malam meninggal. Kerabatku di desa meneleponku untuk segera pulang.”

Ia menangis sesenggukan.

“Sudah, Lun. Datang aja ke pemakaman ibumu. Kamu sangat beruntung punya ibu. Punya malaikat di hidupmu.” Jawabku sambil tersenyum, lalu aku berbalik badan.

Seandainya kamu tahu, Lun. Aku yatim piatu dan menjadi pengamen jalanan sejak kecil. Setiap orang pasti punya ceritanya sendiri.


Siapa malaikat di hidupku? Aku lebih tidak paham hal itu daripada kamu, Lun.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Aku suka ini (y)
-Akabane-

Posting Komentar