“Malaikat? Apa itu? Tidak ada kata itu dalam kamusku.” Ucap Lun
tajam saat menjawab pertanyaanku.
Aku menghela nafas. Mungkin, Lun
pantas mengatakan itu. Kisah hidupnya sangat miris. Aku, sahabat terdekatnya, hanya bisa membantu
agar Lun tidak sampai sakit jiwa. Saat ini Lun tinggal denganku. Kami menyewa
satu kamar kos yang cukup luas untuk dua orang. Sampai saat ini, aku belum
pernah mendengar Lun menangis. Setiap hari wajahnya berkisar antara
bahagia-datar-sedih. Jika orang melihat wajahnya, akan terbayang sosok nona
yang perfeksionis. Entahlah. Lima tahun aku bersama Lun, dan aku belum mengerti
kepribadiannya.
Malam hari. Lun sering pulang malam
saat aku sudah terlelap. Aku tahu itu karena aku hafal suara langkah kaki Lun
yang sangat khas. Aku mengabaikannya dan ingin terbuai mimpi lagi. Tapi sesaat
kemudian, aku mendengar suara tangisan. Lun menangis? Ada apa? Aku ingin sekali
bangun tidur dan mengusap airmata di
pipinya. Tapi, aku lebih takut pada kata-kata Lun yang tak ingin berbagi
kesedihannya padaku. Dengan keegoisan, aku kembali tidur.
Paginya, aku pura-pura tidak tahu
soal tangisan Lun. Aku melihat matanya tidak sembab. Tidak ada bekas tangisan
di sana. Tapi, aku melihat air mata yang meresap di bantal Lun. Air mata yang
belum kering. Sama seperti kesedihannya.
Lun lahir di penghujung bulan Juni.
Saat hujan deras, ibunya pontang-panting pergi ke rumah sakit sendiri. Tanpa
ayahnya. Ayahnya meninggal karena kecelakaan tepat seminggu sebelum Lun lahir. Setelah
melahirkan Lun, ibunya memutuskan menikah lagi karena tidak ada penghasilan
cukup. Ia menikah dengan pria yang baik. Pria itu mencukupi kebutuhannya dan
menyayangi Lun sepenuh hati. Lun memanggilnya ayah. Namun saat malam, pria itu
sering menyakiti ibunya. Sampai Lun menginjak sekolah dasar. Lun tanpa sengaja
melihat ayahnya menyakiti ibunya. Dan dia mulai menyimpan dendam pada ayahnya.
“Ayah!” Lun memeluk ayahnya yang menjemput di gerbang sekolah.
Dan ayahnya membalas dengan hangat.
Lun memutuskan untuk mengubur
dendam itu di hatinya. Ia pikir, mungkin ayahnya itu mau latihan drama. Sama
seperti di sekolahnya. Hari-hari Lun berlangsung bahagia. Dan Lun tidur dengan
hati yang tenang. Ia tidak mengetahui segala sesuatunya. Ayah Lun dibunuh oleh
kakek Lun sendiri. Ibu Lun histeris. Malam itu juga, pemakaman disegerakan.
Supaya Lun tidak tahu kalau ayahnya sudah meninggal.
“Bu, mana ayah?” Tanya Lun.
Dengan mata berkaca-kaca ibu Lun menjawab, “Ayah sedang
jalan-jalan ke negeri yang jauh sekali. Lun mau ikut ayah?”
“Nggak. Lun mau bareng ibu aja. Tapi, Lun mau telepon ayah
biar ayah bisa bawa oleh-oleh kalau pulang.”
Ibunya mengangguk. Tersenyum hambar. Sejak itu pula, ibu Lun
bekerja banting tulang menghidupi keluarganya. Siang malam ia bekerja keras.
“Bu, istirahat dulu. Lun bisa bantu kok besok,”
“ Lun, belajar yang rajin ya. Ibu ini nggak punya apa-apa.
Cuma punya kamu, nak.”
“Iya, bu. Iya.”
***
“Sif, malaikat itu seperti apa?” Tanya Lun.
“Nggak tahu, Lun. Aku belum pernah lihat malaikat soalnya,
hahaha.” Candaku.
“Kata agama, malaikat itu makhluk gaib Tuhan yang punya
sayap kan? Makhluk ciptaanNya yang
selalu menepati perintah Tuhan. Benar tidak?”
“Iya, benar.”
“Aku kenal satu malaikat, Sif. Dia tak bersayap. Kadang, ia
tidak menepati perintah Tuhan. Tapi, buatku dia malaikat. Segalanya. Aku
terlalu sayang padanya.”
“Siapa Lun? Tumben kamu bicara dalem gini.”
“Ibu. Ibuku.”
Butir pertama airmatanya telah jatuh. Sempurna tertarik oleh
gravitasi setelah mengalir di pipi Lun.
“Aku nggak bisa lupa, sif. Waktu kecil, ibuku disakiti sama
ayah. Dan ibuku diam tidak mengeluh.
Apa ibu cinta dengan ayah? Aku tidak tahu.
Mungkin ia mempertahankan hubungan demi aku yang merengek-rengek minta mainan
pada ayah tiap pulang sekolah.”
“Lun? Kamu, nggak apa?”
“Setelah itu, ayah dibunuh kakek. Ibu merahasiakan
pemakamannya. Aku tahu itu, tapi ibu bilang ayah jalan-jalan ke luar negeri. Dan
kakek bersikap seolah ia tak bersalah. Ada apa dengan keluargaku? Aku tidak
mengerti.”
“Aku sekolah di sekolah bagus, Sifa. Ibu yang
mendaftarkanku. Aku baru tahu kalau ibuku ternyata berjualan di pasar sekaligus
menjadi tukang sampah. Semua untuk membiayaiku. Ibu menyembunyikan seragam
tukang sampahnya dan mencucinya saat malam agar aku tak tahu.”
Aku diam dan mendengarkan ceritanya.
“ Tapi aku tahu, Sifa. Dan aku membalas semua dengan
prestasi. Apakah ibuku bahagia? Aku tidak tahu. Tapi ia tersenyum. Sifa, ibuku
tadi malam meninggal. Kerabatku di desa meneleponku untuk segera pulang.”
Ia menangis sesenggukan.
“Sudah, Lun. Datang aja ke pemakaman ibumu. Kamu sangat
beruntung punya ibu. Punya malaikat di hidupmu.” Jawabku sambil tersenyum, lalu
aku berbalik badan.
Seandainya kamu tahu, Lun. Aku yatim piatu dan menjadi
pengamen jalanan sejak kecil. Setiap orang pasti punya ceritanya sendiri.
Siapa malaikat di hidupku? Aku lebih tidak paham hal itu
daripada kamu, Lun.
1 komentar:
Aku suka ini (y)
-Akabane-
Posting Komentar